BAB
I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Kesultanan Banten awalnya hanya
sebuah kadipaten yang berada di bawah kekuasaan Kerajaan Padjajaran yang
bercorak Hindu. Wilayah kerajaan ini merupakan salah
satu wilayah yang berpengaruh dalam jalur perdagangan internasional. Banten merupakan salah satu pelabuhan terpenting kerajaan
ini dan wilayah lain, di antaranya, Pontang, Tangerang, Kalapa, Cimanuk, dan
Cirebon. Ekspor utama pelabuhan Banten adalah lada dan beras. Posisi Banten
yang sangat strategis membuat wilayah ini menjadi tempat transit pedagang dari
negara-negara lain seperti Maladewa serta kerajaan-kerajaan lain.
1.2
Rumusan Masalah
Terkait dengan uraian diatas, maka
dapat dirumuskan beberapa permasalahan untuk mengetahui lebih jelas tentang
Kerajaan Banten.
a. Bagaiman asal usul dari Kerajaan
Banten.
b. Bagaimana masuknya Islam ke Banten
c. Bagaimana kejayaan Kerajaan Banten
d. Bagaimana keruntuhan Kerajaan Banten
e. Apa peninggalan dari Kerajaan Banten
1.3
Tujuan
Sesuai dengan permasalahan diatas, maka tujuan penulisan ini
yaitu sebagai berikut;
a. Untuk memperluas wawasan pengalaman
bagi mahasiswa IKIP PGRI Pontianak
b. Membantu Mahasiswa agar lebih aktif
dalaam mengemukakan pendapat.
c. Untuk mengetahui secara umum tentang
Kerajaan Banten
BAB II
PEMBAHASAN
1.1 Asal Mula Kerajaan Banten
Pada tahun 1522 Jorge d’
Albuquerque, Gubernur Portugis di Malaka, mengirim Henrique menemui Raja Samiam di Sunda untuk mengadakan perjanjian dagang dengannya.
Pada tanggal 21 Agustus kesepakatan dagang antara Portugis dan Sunda Kelapa
akhirnya disepakati. Dalam perjanjian ini, Kerajaan Sunda berkewajiban membayar
1000 bahar lada setiap tahunnya dan Kerajaan Sunda Padjajaran memberikan sebuah
wilayah untuk dijadikan benteng Portugis. Sebagai imbalannya, Portugis akan
melindungi Kerajaan Sunda Padjajaran dari serangan Kerajaan Islam yang saat itu
telah berkembang di Pulau Jawa bagian tengah.
Akhrinya, Portugis diberikan izin untuk mendirikan kantor dagang di Sunda
kelapa.
Perjanjian dagang antara Portugis
dan Sunda Kelapa tersebut tidak berhasil. Hal ini dikarenakan pada tahun 1925
wilayah Banten berhasil direbut dari kekuasan Sunda Padjajaran oleh pasukan dari
Kesultanan Demak, salah satu kerajaan Islam di pulau Jawa.
Pasukan ini dipimpin oleh seorang guru besar serta panglima militer yang handal
yang berasal dari sebenarnya berasal dari Pasai, yaitu Fatahillah. Beliau
diutus langsung oleh Kerajaan Demak yang saat itu diperintah oleh seorang
sultan yang bernama Sultan Trenggono. Alasan mengapa Fatahillah diutus untuk
menaklukkan Jawa Barat sebenarnya adalah untuk menghalau pengaruh Portugis yang
saat itu sudah melakukan perjanjian dagang dengan kerajaan Sunda Padjajaran.
Pada tahun 1526, Sultan Trenggono
mengutus Syarif Hidayatullah beserta pasukannya untuk menaklukkan Jawa Barat
agar Portugis tidak dapat memasuki wilayah tersebut. Penyerangan yang dilakukan
oleh Fatahillah beserta pasukannya berhasil. Wilayah Banten akhirnya jatuh ke
tangan Kesultanan Demak. Sebagai orang yang memimpin penaklukan tersebut,
Syarif Hidayatullah langsung diberikan wewenang oleh Sultan Trenggono untuk
memimpin wilayah Banten.
Pada tahun 1552, Syarif Hidayatullah
diharuskan kembali ke Cirebon. Cirebon merupakan wilayah yang dipimpin oleh
Syarif Hidayatullah sebelum Banten. Setelah berhasil menaklukkan Banten, Syarif
Hidayatullah diperintahkan oleh Sultan Trenggono untuk mengatur wilayah
tersebut sehingga wilayah Cirebon diserahkan kepada salah seorang putra dari
Syarif Hidayatullah yang bernama Pangeran Pasarean.
Namun, putra yang diberikan mandat untuk memimpin wilayah Cirebon tersebut
wafat mendahului ayahnya. Alhasil, Syarif Hidayatullah pun hijrah ke Cirebon
untuk menggantikan putranya tersebut. Daerah Banten diserahkan kepada putra
lainnya yang bernama Hassanudin.
Pada tahun 1546, Sultan Trenggono,
Sultan kerajaan Demak gugur dalam penyerangan Kerajaan Demak ke Pasuruan. Hal
ini menyebabkan terjadinya kekacauan dalam tubuh Kerajaan Demak sendiri.
Negara-negara bagian atau kadipaten berusaha untuk memisahkan diri. Kerajaan Banten yang saat itu dipimpin oleh Hassanudin
merupakan salah satu kadipaten yang ikut berusaha melepaskan diri dari kerajaan
induknya, Demak. Akhirnya pada tahun 1568, Banten benar-benar terlepas dari
kerajaan Demak. Pada tahun tersebut pula, Kerajaan Banten resmi berdiri dengan
Maulana Hassanudin sebagai Sultan pertamanya.
1.2
Masuknya Islam ke Banten
Islam telah memasuki wilayah Banten
sebelum Kesultanan Banten berdiri. Agama ini dibawa oleh para pedagang Arab
pada akhir abad ke-15. Karena itu, posisi Banten
sebagai jalur perdagangan internasional sangat menentukan dalam penyebaran
Islam ke tanah Banten ini.
Setelah itu, Islamisasi di Banten
dilanjutkan oleh seorang pemuda yang bernama Syarif Hidayatullah. Beliau adalah cucu dari Prabu Siliwangi dari putrinya
yang menikah dengan seorang pemimpin Ismailiyyah. Syarif Hidayatullah yang saat
itu baru kembali ke tanah kelahiran ibundanya, Cirebon, mulai berdakwah di tanah
Pasundan. Di Banten, beliau menikah dengan adik dari Bupati setempat yang
bernama Nyai Kawunganten. Dari penikahannya ini, lahirlah dua anak, yakni Ratu
Winahon dan Hassanudin. Bersama putranya, Syarif
Hidayatullah menyebarkan agama Islam hingga ke arah Gunung Pulosari.
Setelah Syarif Hidayatullah kembali
ke Cirebon, perjuangan dakwah Islam di Banten dilanjutkan oleh Hassanudin.
Beliau berkelana dari Gunung Pulosari hingga Ujung Kulon. Dalam menyebarkan
ajaran Islam, Hasanuddin menggunakan budaya penduduk setempat. Karena itu, dakwahnya cepat diterima oleh masyarakat.
Cara ini terus dilakukan oleh Hasanuddin hingga pada tahun 1525, beliau
berhasil merebut kekuasaan Banten dari kerajaan Sunda Padjajaran dan mendirikan
Kesultanan Islam. Mulai saat itu, Islam disebarkan di
Banten melalui kekuasaan.
Adapun
raja- Raja Kesultanan Banten yaitu: Sultan pertama yang memerintah Banten adalah Sultan
Maulana Hasanudin. Beliaulah yang berhasil membebaskan Banten dari kekuasaan
Kerajaan Demak. Maulana Hasanudin kemudian mengubah wilayah yang semula
hanyalah sebuah kadipaten tersebut menjadi kesultanan.
Sultan Maulana Hasanudin adalah
putra dari Syarif Hidayatullah, tokoh penaklukan Banten dari Kerajaan Sunda
Padjajaran. Maulana Hasanudin memerintah dari tahun 1552 hingga 1570. Selama
pemerintahannya, Sultan Maulana Hasanudin lebih fokus pada perluasan wilayah
perdagangan dan tata keamanan kota.
Sultan kedua yang memimpin Banten
adalah Maulana Yusuf. Beliau adalah putra pertama dari Sultan Maulana
Hassanudin dengan seorang putri Sultan Trenggono. Sama seperti ayahnya yang
menggantikan kakeknya, beliau juga mewarisi tahta ayahnya. Sedangkan adiknya,
Sunan Parwoto, menjadi Pangeran Jepara. Maulana Yusuf
memerintah selama 10 tahun mulai tahun 1570 hingga akhir hayatnya pada tahun
1580.
Sultan ketiga yang memegang tampuk
pemerintahan Banten adalah Maulana Muhammad, putra Maulana Yusuf. Beliau
diangkat menjadi seorang Sultan pada usia yang sangat muda.
Hal ini menyebabkan adanya perseteruan antara dirinya dan pamannya, yakni
Pangeran Jepara. Alhasil, pada masa pemerintahannya, Maulana Muhammad harus
menghadapi perlawanan dari pamannya sendiri. Namun, dengan dukungan ulama-ulama
Banten, Maulana Muhammad berhasil membendung serangan Pangeran Jepara. Beliau
pun dapat mempertahankan tahtanya.
Sultan lainnya yang pernah
memerintah Kesultanan Banten antara lain: 1. Sultan Abdul Mufahir Mahmud Abdul
Kadir (1605-1640), 2. Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad (1640-1650), 3. Sultan Ageng
Tirtayasa (1651-1682), 4. Sultan Abdul Kahar atau Sultan Haji (1682-1687), 5.
Abdul Fadhl atau Sultan Yahya (1687-1690), 6. Abul Mahasin Zainul Abidin
(1690-1733), 7. Muhammad Syifa Zainul Ar atau Sultan Arifin (1733-1750), 8.
Muhammad Wasi Zainifin (1750-1752), 9. Syarifuddin Artu Walikul Alimin (1752-1753),
10. Muhammad Arif Zainul Asyikin (1753-1773), 11. Abul Mafakir Muhammad
Aliyuddin (1773-1799), 12. Muhyidin Zainush Sholihin (1799-1801), 13. Muhammad
Ishaq Zainul Muttaqin (1801-1802), 14. Wakil Pangeran Natawijaya (1802-1803),
15. Aliyuddin II (1803-1808) , 16. Wakil Pangeran Suramanggala (1808-1809), dan
17. Muhammad Syafiuddin (1809-1813).
1.3
Masa Kejayaan Kerajaan Banten
Banten mencapai puncak kejayaannya
pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Kejayaan tersebut berhasil
diraih dalam berbagai bidang seperti politik, ekonomi, perdagangan, kebudayaan,
maupun keagamaan. Dalam bidang politik misalnya, Banten
selalu membangun hubungan persahabatan dengan daerah-daerah lainnya.
Daerah-daerah sahabat Banten yang berada di wilayah nusantara antara lain
Cirebon, Lampung, Gowa, Ternate, dan Aceh. Selain itu, Kesultanan Banten juga
menjalin hubungan persahabatan dengan negara-negara lain yang jauh dari
nusantara. Salah satunya adalah dengan mengirim utusan diplomatik ke Inggris
yang dipimpin oleh Tumenggung Naya Wipraya dan Jaya Sedana pada 10 November
1681.
Dalam bidang ekonomi, Sultan Ageng
Tirtayasa berhasil mengembangkan perdagangan Banten. Pada masanya, Banten
menjadi salah satu tempat transit utama perdagangan internasional.
Pedagang-pedagang dari berbagai negara, seperti Inggris, Perancis, Denmark,
Portugis, Iran, India, Arab, Cina, Jepang, Filipina, Malayu, dan Turki datang
ke sini untuk memasarkan barang komoditas dari negeri mereka.
Walaupun saat itu Banten menghadapi persaingan dengan VOC, tetapi Sultan Ageng
Tirtayasa tetap mampu menarik pedagang mancanegara tersebut untuk tetap
berdagang di Banten. Hal ini disebabkan Banten tidak menerapkan monopoli
perdagangan seperti yang dijalankan oleh VOC.
Sultan Ageng Tirtayasa juga
mendirikan keraton baru di wilayah Tirtayasa untuk memperkuat pertahanan
kesultanannya. Dengan pembangunan keraton ini, wilayah Tirtayasa terus dibuka.
Beliau membangun jalan dari Pontang ke Tirtayasa. Tidak hanya itu, Sultan Ageng
juga membuka lahan-lahan persawahan sepanjang jalan tersebut serta
mengembangkan pemukiman warga di daerah Tangerang.
1.4 Keruntuhan
Kerajaan Banten
Pada masa Sultan Ageng Tirtayasa
berkuasa, Belanda sudah memulai taktik untuk menghancurkan Banten dari dalam,
yakni dengan menghasut Sultan Haji, putra dari Sultan Ageng Tirtayasa. Belanda
mengadu domba Sultan Haji dengan ayahnya. Mereka menyebarkan isu bahwa orang
yang akan menjadi pewaris tahta Banten adalah Pangeran Purbaya saudara Sultan
Haji. Hal ini membuat Sultan Haji merasa iri hati dan
memutuskan untuk melancarkan serangan melawan ayahnya sendiri.
Dengan bantuan Belanda, Sultan Haji
akhirnya dapat melumpuhkan kesultanan Banten. Bahkan, karena peperangan antara
ayah dan anak ini, Keraton Surosowan yang dibangun oleh nenek moyangnya hancur
rata dengan tanah. Sultan Ageng Tirtayasa akhirnya dipenjara di Batavia hingga
meninggal pada tahun 1692. Alhasil, Sultan Haji yang
bekerja sama dengan Belanda pun naik tahta.
Sejak saat itu, Kesultanan Banten
sangat dipengaruhi oleh Belanda. Terlebih lagi setelah Sultan Haji mengadakan
perjanjian dengan pihak Belanda. Namun, perjanjian yang dilakukan oleh Sultan
Haji dengan Belanda ini justru merugikan Sultan Haji. Beliau harus membayar
12.000 ringgit dan menyetujui pendirian Benteng Speelwijk. Akibatnya,
ekonomi dan politik Banten di monopoli oleh Belanda. Pergantian sultan selalu
dicampuri dengan kepentingan Belanda. Pemberontakan pun terus terjadi.
Kesultanan Banten perlahan-lahan mulai mengalami kemunduran.
Puncaknya, pada tahun 1808 Belanda menghancurkan Istana Surosowan dan
menggantinya dengan Kabupaten Serang, Waringin, dan Lebak di bawah pemerintahan
Hindia-Belanda. Pada tahun 1813, Pemerintahan Inggris membubarkan Kesultanan
Banten dan Pangeran Syafiudin yang sedang berkuasa dipaksa untuk turun tahta.
Saat itulah Kesultanan Banten runtuh.
1.5 . Peninggalan Kerajaan Banten
Peninggalan pertama dari Kesultanan
Banten adalah Masjid Agung Banten. Masjid Agung Banten dibangun oleh Sultan
Banten, yakni Maulana Hassanuddin dan putranya Maulana Yusuf pada bulan
Dzulhijjah tahun 966 H atau 1566 M. Masjid Agung ini
merupakan salah satu peninggalan yang sangat penting dikarenakan itu adalah
salah satu dari 4 komponen utama yang “wajib” ada di pusat kota Jawa
zaman dahulu. Masjid ini berlokasi di Desa Banten Lama,
Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Provinsi Banten.
Masjid Agung Banten memiliki
keunikan arsitektur tersendiri. Hal ini dikarenakan Masjid Agung Banten
dirancang oleh tiga orang arsitek yang berasal dari tiga bangsa yang berbeda.
Tiga orang arsitektur tersebut adalah Raden Sepat, seorang arsitek yang berasal
dari Majapahit yang juga menggarap Masjid Cirebon, Tjek Ban Tjut yang berasal
dari Cina serta Hendrik Lucaz Cardeel, seorang Belanda yang sudah masuk Islam
dan menjadi anggota kesultanan. Masjid ini memiliki tiga corak arsitektur yang
berbeda. Yang pertama, arsitektur lokal yang bisa terlihat dari empat sakaguru
yang menopang masjid ini. Di tengahnya terdapat mimbar berukiran lokal.
Arsitektur kedua adalah Cina yang terlihat dari bentuk atap paling atas masjid
yang khas dengan bentuk atap Cina. Selain menegaskan kebudayaan Cina, atap
masjid yang bertingkat lima juga menyimbolkan rukun Islam. Arsitektur yang
ketiga adalah Belanda yang dipoleskan pada Menara setinggi 24 m yang berdiri
tegak di sebelah timur masjid. Dengan model tangga
spiral serta kepala dua tingkatnya, menara ini menjadi pelengkap tiga
kebudayaan yang diabadikan. Pada zaman dahulu menara ini difungsikan untuk
mengumandangkan adzan serta sebagai menara pandang lepas pantai atau mercusuar. Karena hasil karyanya ini, dua dari mereka dianugerahi
gelar Bangsawan yaitu Tjek Ban Tjut yang diberi nama Pangeran Adiguna dan
Hendrik Lucaz Cardeel dengan nama Pangeran Wiraguna.
Selain bangunan-bangunan di atas, di
kompleks masjid ini juga ada sebuah paviliun di sebelah selatan masjid yang
bernama Tiyamah. Bangunan ini berbentuk persegi empat bertingkat. Bangunan ini
biasanya digunakan untuk musyawarah tentang permasalahan keagamaan. Di kawasan
ini terdapat juga makam Raja- raja Kesultanan Banten.
Kini masjid ini menjadi salah satu objek wisata yang padat dikunjungi oleh
masyarakat dari berbagai daerah yang biasanya bermaksud untuk berziarah. Namun,
tidak jarang juga masjid ini menjadi tujuan bagi turis-turis asing yang ingin
melihat keindahan sisa-sisa kejayaan Kesultanan Banten.
Peninggalan lain dari Kesultanan
Banten adalah Keraton Surosowan. Keraton Surosowan pertama kali didirikan
oleh Sultan Hassanudin (1552-1570). Nama Surosowan
diberikan oleh sultan sendiri dengan petunjuk dari ayahnya, Sunan Gunung Jati. Surosowan juga memiliki nama-nama lain seperti gedong
kedaton Pakuwuan dan "Fort Diamond" yang berarti kota intan.
Nama “Fort Diamond” diberikan oleh orang-orang Belanda.
Sejak pertama kali dibangun, Keraton
Surosowan telah mengalami berbagai perubahan bentuk. Mengikuti pola yang sama
dengan pusat kota Jawa pada umumnya, keraton ini terletak di sebelah selatan
alun-alun dengan masjid di sebelah barat keraton, pasar karatangu di sebelah
timurnya, dan dilengkapi dengan pelabuhan yang ada di sebelah utara. Di keraton ini juga diletakkan sebuah batu keramat yang
juga terdapat di alun-alun bernama Watu Gilang. Konon, batu ini merupakan
mandat dari Sunan Gunung Jati. Jika batu ini bergeser dari tempatnya, itu
berarti tidak lama lagi Kesultanan Banten akan mengalami keruntuhan. Pada tahun
1596, keraton ini masih terlihat sangat sederhana yakni berupa bangunan rumah
yang dikelilingi oleh pagar dan beberapa bangunan yang berada di selatan
alun-alun.
Pada masa pemerintahan Sultan Ageng
Tirtayasa, Keraton ini mengalami kehancuran total hingga rata dengan tanah akibat
adanya perang antara Sultan dengan anaknya sendiri yakni Sultan Haji. Setelah
Sultan Haji naik tahta, keraton Surosowan dibangun kembali dengan bantuan
Belanda. Bangunan ini dirancang oleh seorang arsitek Belanda yang bernama Hendrik
Lucaszoon Cardeel pada tahin 1680-1681. Namun, pada tahun 1808, keraton ini
kembali dihancurkan oleh Belanda setelah terjadi perselisihan antara Sultan
dengan Belanda. Dan sekarang sisa-sisa reruntuhan Keraton Surosowan ini kita
lihat di Kampung Kasemen, kecamatan Kasemen, kabupaten Serang.
Selain dua peninggalan di atas,
masih ada beberapa peninggalan lainnya. Salah satunya adalah Benteng Speelwijk.
Benteng ini didirikan pada tahun 1684-1685. Namanya diambil dari nama seorang
gubernur Jenderal VOC yang bernama Speelma. Bangunan ini diarsitekturi oleh Hendrik
Lucaszoon Cardeel yang juga merancang arsitektur Masjid Agung Banten. Benteng Speelwijk merupakan lambang keruntuhan
kedaulatan dan independensi Kesultanan Banten. Dengan didirikannya benteng ini
oleh VOC, berarti Kesultanan Banten sudah berada di bawah kendali VOC.
BAB III
PENUTUP
1.1
Kesimpulan
· Pada tahun 1546, Sultan Trenggono,
Sultan kerajaan Demak gugur dalam penyerangan Kerajaan Demak ke Pasuruan. Hal
ini menyebabkan terjadinya kekacauan dalam tubuh Kerajaan Demak sendiri.
Negara-negara bagian atau kadipaten berusaha untuk memisahkan diri. Kerajaan
Banten yang saat itu dipimpin oleh Hassanudin merupakan salah satu kadipaten
yang ikut berusaha melepaskan diri dari kerajaan induknya, Demak. Akhirnya pada
tahun 1568, Banten benar-benar terlepas dari kerajaan Demak. Pada tahun
tersebut pula, Kerajaan Banten resmi berdiri dengan Maulana Hassanudin sebagai
Sultan pertamanya.
· Islam telah memasuki wilayah Banten
sebelum Kesultanan Banten berdiri. Agama ini dibawa oleh para pedagang Arab
pada akhir abad ke-15. Karena itu, posisi Banten sebagai jalur perdagangan
internasional sangat menentukan dalam penyebaran Islam ke tanah Banten ini.
· Banten mencapai puncak kejayaannya
pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Kejayaan tersebut berhasil
diraih dalam berbagai bidang seperti politik, ekonomi, perdagangan, kebudayaan,
maupun keagamaan. Dalam bidang politik misalnya, Banten selalu membangun
hubungan persahabatan dengan daerah-daerah lainnya. Daerah-daerah sahabat
Banten yang berada di wilayah nusantara antara lain Cirebon, Lampung, Gowa,
Ternate, dan Aceh. Selain itu, Kesultanan Banten juga menjalin hubungan
persahabatan dengan negara-negara lain yang jauh dari nusantara. Salah satunya
adalah dengan mengirim utusan diplomatik ke Inggris yang dipimpin oleh
Tumenggung Naya Wipraya dan Jaya Sedana pada 10 November 1681.
· Pada masa Sultan Ageng Tirtayasa
berkuasa, Belanda sudah memulai taktik untuk menghancurkan Banten dari dalam,
yakni dengan menghasut Sultan Haji, putra dari Sultan Ageng Tirtayasa. Belanda
mengadu domba Sultan Haji dengan ayahnya. Mereka menyebarkan isu bahwa orang
yang akan menjadi pewaris tahta Banten adalah Pangeran Purbaya saudara Sultan
Haji. Hal ini membuat Sultan Haji merasa iri hati dan memutuskan untuk
melancarkan serangan melawan ayahnya sendiri.
· Peninggalan pertama dari Kesultanan
Banten adalah Masjid Agung Banten. Masjid Agung Banten dibangun oleh Sultan
Banten, yakni Maulana Hassanuddin dan putranya Maulana Yusuf pada bulan
Dzulhijjah tahun 966 H atau 1566 M. Masjid Agung ini merupakan salah satu
peninggalan yang sangat penting dikarenakan itu adalah salah satu dari 4
komponen utama yang “wajib” ada di pusat kota Jawa zaman dahulu. Masjid
ini berlokasi di Desa Banten Lama, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Provinsi
Banten.
1.2
Saran
Kami selaku
penulis mengharapakan kritik dan saran apabila terdapat kesalahan kata dalam
penulisan ini. Kritik dan saran yang membangun akan menjadikan kami lebih baik
ke depannya dalam penulisan makalah berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Poesponegoro,
Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. Sejarah nasional Indonesia: Jaman
Pertumbuhan dan Perkembangan Kerajaan-Kerajaan Islam di Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka. 2008.
H. Lubis, Nina. Banten dalam Pergumulan Sejarah. Jakarta:
Pustaka LP3ES Indonesia. 2003.
Terima kasih om..
BalasHapusoyy
BalasHapusterimakasih infonya kak
BalasHapus"Join the history buff club and discuss interesting topics with fellow history lovers!" for complete information visit our website here
BalasHapushttps://sejarahdunia72.blogspot.com/