BAB II
PEMBAHASAN
STELSEL TANAM PAKSA
- Perencanaan Tanam Paksa
Pengalaman-pengalaman
yang diperoleh dari stelsel tanah yang terdahulu memberikan pelajaran bahwa
kekuasaan feodal yang masih sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat jawa
masih harus dihormati. Orang eropa tidak akan memperoleh apapun jika mereka tidak
menggunakan organisasi desa.Walaupun demikian, pengelolaan perusahaan harus
diorgnisasikan oleh orang Eropa.
Guberner
Jendral Johannes van den Bosch yang mulai memegang kekuasaan
diindonesia sejak tahun 1830 menyadari betul keadaan yang ada di Jawa. Ia
mencari titik permulaan dalam rangka kegiataan orang-orang Eropa didesa. Ia
menggunakan desa jawa sebagai produsen tanaman ekspor dan sebenarnya hal ini
merupakan inti dari tanam paksa (cultuur stelsel). Rakyat dipaksa
untuk menanam tanaman-tanaman ekspor yang dikehendaki oleh pemerintah kolonial
dipimpin oleh para kepala pribumi yang berada dibawah pengawasan pegawai-
pegawai Eropa. Ia merasa takut untuk mengadakan pimpinan orang eropa langsung
terhadap rakyat.
Sistem
tanam paksa oleh Fasseur didefinisikan sebagai sebuah sistem industri
agraris yag didalamnya pemerintah kolonial memanipulasi kekuasaan dan
pengaruhnya untuk memaksa para petani menanam komoditas-komoditas ekspor. Sedangkan
furnivall menjelaskan bahwa peran pemerintah dalam sistem tanam paksa itu
adalah sebagai pedagang dan penguasa. Peran sebagai pedagang sebelumnya
dimainkan oleh VOC, dan sebagi penguasa dimainkan oleh penguasa pribumi.
Hasil
pertanian yang diusahakan oleh rakyat akan diolah sedemikian rupa sehingga
memiliki kualitas ekspor yang baik dan mampu bersaing dipasaran eropa untuk
mencukupi kebutuhan pabrik-pabrik swasta. Untuk mendirikan pabrik dan
sebagainya, jika perlu, pemerintah akan memberikan porskot kepada para pengusaha
swasta. Dengan cara seperti itu, diharapkan keberatan Du Bus bahwa atas kemauannya sendiri rakyat hanya
akan menghasilkan beras, dapat dihilangkan. Van Den Bosch menyadari
bahwa perkembangan ekonomi dijawa tidak akn timbul spontan dari rakyat. Campur
tangan orang Eropa baik dari pemerintah maupun swasta terhadap perkembangan
ekonmi adalah merupakan suatu keharusan sampai pada batas-batas tertentu.
Kepada
para penguasa swasta Eropa, Van Den Bosch memberikan tugas untuk
meningkatkan produksi pabrik pengelohan, bukan dari pertaniannya sendiri. Ia
akan mensuplai bahan-bahan mentah untuk pabrik-pabrik yang diusahakan swasta. Pengusaha-pengusaha
eropa dan modal mereka berfungsi untuk pabrik-pabrik pengolahan, bukan untuk
penanaman. Pemberian peranan kepada pengusaha eropa lebih kecil jika dibanding
dengan apa yang direncanakan Du Bus. Hal ini karena kepercayaan Van
Den Bosch bahwa impor modal secara besar-besaran tidak akan terjadi.
Rakyat
melalui sistem paksaan (cultur stelsel) menanam tanaman-tanaman ekspor
diatas tanahnya sendiri. Sebelum itu rakyat hanya dituntut untuk menyerahkan
bahan-bahan yang dihasilkan atas kemauannya sendiri, sedangkan rodi dan
pekerjaaan tanam paksa hanya berlaku untuk penanaman kopi. Kewajiban penanaman
kopi sebelumnya juga hanya dilakukan diatas tanah-tanah liar. Campur tangan
kolonial diperdesaan semakin mendalam.
Sebagai
upah atas penanaman itu, rakyat tidak menerima uang, tetapi diberikan imbalan
berupa pembebasan dari kewajiban membayar pajak yang sangat berat. Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa pajak tidak dibayar dengan uang, tetapi dalam bentuk in
natura atau tenaga kerja. Pemungutan pajak in natura, menurut Van Den Bosch
lebih sesuai dengan sifat rumah tangga desa dibanding dengan pajak uang, rakyat
harus tetap dibiarkan dalam keadaan rumah tangga produksi jangan dipaksa untuk
menjalankan rumah tangga uang.
Alam
stelsel Van Den Bosch unsur yang terdapat dalam produksi ekspor
terdiri atas pemerintah Eropa, para kepala pribumi jawa, organisasasi desa,
tenaga kerrja rakyat jawa, tanah pertanian rakyat, pengusaha-pengusaha Eropa
denagan modalnya. Kepada masing-masing unsur tersebut secara teknis Van Den Bosch
memberikan berbagai kemungkinan tidak melebihi dari apa yang dapat dilakukan. Walaupun
tanam paksa tidak mengandung usaha-usaha pembaharuan, stelsel ini mengandung
benih-benih untuk perkembangan diwaktu-waktu kemudian.
Dapat
diduga bahwa dengan stelsel tanam paksa dapat memberikan tekanan yang berat
kepada rakyat.namun menurut Mansvelt, karena Van den Bosch yang dinegeri
belanda terkenal sebagai pembaharu masyarakat, ia akan memajukan rakyat dengan
stelsel tersebut. Jika stelselnya tidak dilaksanakan dengan tidak
berlebih-lebihan, agaknya memang dapat meningkatkan kemakmuran rakyat.
Prof.
Garretson mengemukakan, ketika tahun 1830 tidak dapat diharapkan produksi
ekspor dari jawa, pada saat itu pemerintah kolonial belanda dihadapkan pada dua
pilihan, yaitu stelsel tanam paksa dan pemberian tanah tanah penduduk kepada
pengusaha swasta Eropa. Pemerintah kolonial belanda harus memilih usaha
peningkatan produksi ekspor diserahkan kepada pihak swasta atau dipegang
pemerintah sendiri. Pemberian tanah-tanah partikelir kepada pengusaha swasta
eropa secara besar-besaran akan berarti pemrintah mempertegas struktur feodal,
sehingga sistem kemasyarakatan semakin bercorak feodalistis.
Pengalaman-pengalaman diindia, koloni spanyol diamerika latin, dan juga
philipina, menunjukan betapa sukarnya pembelian kembali tanah-tanah partikelir
oleh pemerintah. Kebijakan untuk tidak menyerahkan tanah kepada para penguasa
swasta, terbukti pada waktu kemudian bahwa ketika masyarakat sudah seemakin
dewasa tidak terlalu sulit untuk melepaskan diri dari kekangan feodal. Berkat
pelaksanaan stelsel tanam paksa, Jawa tidak mengenal masalah tan tanah besar. Masih
menurut Garretson, bahan tanam paksa adalah stelsel yang paling tepat untuk
dilaksanakan pada waktu itu, karena dapat dilaksanakan dalam batas-batas
kemungkinan (sangat fisibel).
Stelsel
tanam paksa akan memaksa penduduk untuk bekerja dan melepaskan tanah
pertaniannya. Disamping itu, organisasi desa akan dimanfaatkan dengan
sebaik-baiknya dan para kepala pribumi akan memperoleh kebebasan dalam usaha
memperbesar produksi ekspor. Dengan demikian, sebenarnya tanam paksa telah
mengerbankan kepastian hukum dan kebebasan orang serta barang. “Jiwa Kerja”
yang ingin ditanamkan kepada penduduk desa melalui stelsel tanah ternyata hanya
pada tingkat desa, tidak sampai ke individu.dalam masa pemerintahan Van der
Cappelen, stelsel ini tidak dapat berjalan dengan baik, karena ia tidak
memberikan sarana-sarana untuk menjalankan pemerintahannya sehingga politiknya
tidak memiliki dasar ekonomi.
Melaksanakan
stelsel tanam paksa Van den Bosch harus melepaskan tujuan untuk memberikan
kepastian hukum dan kebebasan kepada penduduk.tugas-tugas peradaban harus
dibatasidalam hal ini, Van den Bosch harus melepaskan “perfectionisme”. Segala
bentuk ‘keinginan’ akan dikalahkan oleh ‘kebutuhan’ bahkan ‘kebutuhan’ tersebut
harus cermat mempertimbangkan urgensinya.
Kepastian hukum dan memberikan kebebasan bagi
pegawai pegawai eropa merupakan sesuatu yang sukar dan berat, terutama para
pegawai yang bekerja sejak pemerintahan Raffles, komisaris-komisaris Jendral,
dan Van Der Cappelen. Politik tanam paksa merupakan penghancran dari usaha usaha
yang telah dirintisnya sejak bertahun-tahun. Van den Bosch nampaknya sudah
memperhitungkan tantangan-tantangan mereka. Ia mencari dukungan kepad raja
Williem dengan mengatakan bahwa ‘paksaan’ yang dilaksanakn dengan cara yang
‘lebih halus’. Ia tidak ingin menggunakan istilah ‘paksaan’ tetapi ia lebih
senang menggunakan istilah ‘persetujuan sukarela’ dengan desa-desa untuk
penanaman tanaman-tanaman ekspor.
Keberatan
terhadap rencana stelsel tanam paksa dari pegawai pegawai eropa yang lain
adalah bahwa dengan sistem itu para residen merasa dianggap sebagai petani,
karena mereka harus mengawasi penanaman. Ada juga pegawai pemerintah yang
mengatakan bahwa sistem ini terlalu berbau bajak (ploeg). Keberatan-keberatan
terhadap rencana stelsel tanam paksa ini oleh Van den Bosch akan dikompensasi
dengan pemberian persenan atau premi penanaman kepada para pegawai eropa maupun
Indonesia. Walaupun demikian, tantangan itu masih demikian kuatnya.untuk
mengatasi hal tersebut, pada bulan januari 1832 Van Den Bosch diberikan hak-hak
istimewa oleh raja Williem dan diangkat menjadi komisaris Jendral. Pada waktu
kemudian para pegawai yang dibesarkan dalam masa stelsel tanam paksa sangat
meyakini manfaat yang diberikan sistem ini terhadap kemakmuran penduduk. Bahkan
mereka tidak menyetujui pencabutan stelsen tersebut untuk diubah menjadi
penanaman oleh perusahaaan-perusahaan swasta. Mereka ini takut bahwa rakyat
yang tidak berpengalaman alam masalah ekonomi akan diperas oleh para pengusaha
swasta.
- Alat-Alat Organisasi Penanaman Wajib
Sebagai
alat organisasi, sistem tanam paksa tidak hanya menggunakan ikatan desa, tetapi juga menggunakan pengabdian
feodal.percobaan liberal yang gagal dengan stelsel tanahnya telah menyebabkan
penyediaan komoditas ekspor dikembalikan kepada warga.walaupun demikian,
menurut Prof.Burger tidak benar jika dikatakan bahwa sistem tanam
paksa telah mengembalikan pengabdian feodal seperti waktu-waktu sebelumnya.
Campur
tangan negara dalam penanaman wajib memerlukan banyak organisasi manajemen
didaerah pedalaman.pegawai-pegawai eropa mendapat tugas yang penting karena
pekerjan-pekerjaan mereka tidak dapat diserahkan kepada para kepala pribumi
atau bupati.pengaruh eropa sangat besar menembus ke daerah pedalaman. Walaupun
demikian, pengaruh para bupati tetap dimanfaatkan oleh pemerintah.Van den Bosch
ingin memperbesar kekuasaan para bupati,
tetapi sampai batas-batas tertentu.kebutuhan hidup bupati dan keluarganya yang
sangat besar jangan sampai menekan rakyat.apanaga-apanage diberikan dan hak
mewarisinya sampai batas-batas tertentu.
Para
bupati dalam periode tanam paksa kembali memiliki kesempatan untuk menindas
rakyat melalui kekuasaannya. Gaji mereka yang tidak cukup untuk memenuhi gayan
hidupnya memaksa mereka untuk menambah penghasilan melalui cara-cara yang tidak
jujur. Vitalitas menganggap para bupati ini sebagai “momok penindasan” (de
hydra derverdrukking). Walaupun demikian sistem tanam paksa itu tidak
memberikan kembali kebebasan untuk memerintah dari para bupati. Pelaksanaan
tanam paksa yang pada dasarnya dilaksanakan oleh para asisten residen dan
kontrolir-kontrolir semakin mempengaruhi kehidupsn desa, dan dengan sendirinya
merugikan kekuasaan para bupati.
Melalui
berbagai cara, beberapa bupati melakukan perlawanan secara diam diam terhadap
para pegawai pemerintah. Vitalis menunjukan bahwa para bupati di Cirebon,
Tegal, dan Pekalongan menghangsut rakyat untuk menimbulkan rasa tidak puas
terhadap pegawai pemerintah.para bupati mengorganisasikan para perampok.dengan
cara seperti itu, penduduk tidak berani meninggalkan keluarganya karena takut
dirampok. Dengan demikian, pemerintah akan sulit memperoleh tenaga kerja
diperkebunan-perkebunan.
Paksaan
penanaman yang diawasi oleh negara pada dasarnya merupakan ekonomi politik
monopolistik yang bertujuan mendapatkan keuntungan maksimun bagi negara induk
dari potensi ekonomi yang dimiliki jawa. Melalui penanaman negara, pemerintah
kolonial belanda secara angsung mengontrol produksi maupun sistem pemasaran
tanaman komersial. Pemerintah memegang sendiri kekuasaan ekonomi yang
dominan.hal ini merupakan salah satu kondisi yang unik yang telah muncul sejak
awal sistem tanam paksa.
Stelsel tanaman paksa disebut unik
karena sistem ini tidak dipratikan oleh berbagai negara kolonial lain di
wilayah Asia Tengara meskipun kondisi alam dan ekonomi serta struktur sosialnya
mirip dengan yang ada di Jawa. Keunikan ini
memang telah memiliki akar yang cukup kuat sejak permulan kolonialisme
belanda di indonesia.
Untuk
mengamankan persedian komoditas ekspor pada masa VOC, memang perdagangannya
diperluas ke arah monopoli sistem produksi. Kebijakan perekonomian yang
demikian tetap dipertahankan oleh pemerintah kolonial setelah percobaan
semi-liberal antara tahun 1800-1830 mengalami kegagalan. Prototip sistem tanam
paksa dijawa adalah penanaman untuk tanaman kopo di priangan yang sudah
berlangsung sejak abad XVIII.
Pengawasan
orang-orang Eropa di daerah pedalaman yang telah di mulai sejak masa-masa akhir
kekuasaan kumpeni dan bertambah kuat pada masa Deandels, telah semakin
diperluas pada masa tanam paksa. Kedudukan oleh Prof. B. Schrieke tidak lebih
dari “mandor-mandor penanaman”. Pengaruh Eropa pada masa tanam paksa
kadang-kadang sampai kepada individu di desa, misalnya untuk penanaman wajib
tanaman tebu pada tahun 1852 pembayaran upah di lakukan oleh pegawai Eropa
langsung kepada masing-masing penanam. Namun, untuk penetapan pajak per-desa,
penggunan tanah, pengarahan tenaga kerja untuk penanaman, dan tidak harus
membersihkan kesempatan kepada kepala desa. Kesewenangan dan kekejaman para
kepala pribumi adalah suatu yang melekat dengan stelsel tanam paksa.
Walaupun
sebenarnya tanam paksa tidak di tujukan untuk modernisasi negara kolonial,
tetapi jumlah orang-orang Eropa yang bekerja untuk kepentingan berkebun dalam
fungsinya sebagai pimpinan dan untuk kepentingan perkebunana dalam fungsinya
sebagai pimpinan dan pengatur organisaai semangkin bertambah jumlahnya.
Komunikasi antara orang-orang indonesia dengan orang-orang Eropa agaknya
melapangkan jalan bagi modernisasi di waktu-waktu kemudian.
Alat
organisasi tanam paksa yang berupa ikatan desa merupakan instrumen yang tidak
dapat di hindari. Dalam peraturan mengenai penanaman dan rodi banyak di tuntut
dari kepala-kepala tradisional desa. Pemerintahan kolonial belanda mengukur
keberhasilan para kepala desa ini berdasarkan berhasil tidaknya penanaman di
dalam desa-desa mereka. Stelsel tanam paksa telah menyebabkan para kepala desa
lebih tergantung dan terikat kepada pemerintahan atasanya, sedangkan kekuasan
dalam desa nya bertambah besar. Kepala desa hanya sebagai mandor (zetbas)
dari pemerintahan, sedang perhambaanya pun semangkin berat pula. Hal yang
demikian bukan merupakan suatu yang baru karena sesuai dengan
kecenderungan-kecenderungan dari pemerintah raja-raja dan bupati-bupati yang
dahulu. Itulah, sebabnya maka penerapan sistem tanam paksa tidak seberapa
mendapat tantangan dari para penguasa pribumi.
Tindakan
kekerasan dalam melaksanakan tanam paksa rupa-rupanya hampir tidak di perlukan.
Menurut S. Van Deventer yang berusaha menyelidiki tindakan kekerasan
yang di lakukan dalam sistem tanam paksa, disimpulkan sedikit sekali tindakan
kekerasan. Beberapa hukuman saja diberikan kepada kepala desa yang selain
mengunakan cara-cara yang lunak, seperti teguran, kewajiban lapor di paseban
dengan atau tampa keris, pemecatan juga dengan kekerasan, misalnya: kurungan
dan dera. Tindakan untuk menghukum ini dilakukan agar para kepala desa
melakukan tatanan seperti yang diharapakn pemerintah, yaitu tidak menimbulkan
kesensaraan. Pelaksaan hukuman badan kepada para kepala desa yang bersalah
akhirnya dilarang pada tahun 1841. Dengan demikian demikian dapat dikatakan
bahwa paksaan itu di perlukan terutama pada desa warsa pertama penerapan
paksaan tanaman produksi ekspor.
- Perkembangan Dan Kemunduran Sistem Tanam Paksa
Setelah
tiga tahun berlangsung sistem tanam paksa, pada tahun 1833 dapat diketahuai
luasnya lahan yang ditanami tanaman ekspor sebagai berikut:
Tebu 32.722 bau nila(indigo) 22.141 bau
Teh 324 bau tembakau 30 nau
Kayu
manis 30 bau kapas
5 bau
Disamping itu, masih terdapat
berbagai tanaman yang tidak begitu penting untuk pasar Eropa, seperti lada dan
murbei. Dalam tahun 1836 kira-kira 53 000 bua sawah rakyat yang digunakan untuk
penanaman wajib, dan 39.000 di antaranya untuk penanaman tebu.
Luas sawah rakyat pada tahun 1833 di
perkirakan 964.000 bau. Dengan demikian kira-kira 1/18 dari luas seluruhnya
yang digunakan untuk penanaman paksa. Dalam tahun 1836 bagian ini akan lebih
kecil lagi.
Khusus mengenai penanaman tebu,
didaerah-daerah penggilingan gula tanah rakyat seluruhnya seluas 484.000 bau
tanah rakyat, kira-kira setengah terdiri dari sawah. Dari jumlah tersebut,
lebih dari 40.500 bau di tanami tebu atau1/12 dari seluruh tanah atau 1/6 dari
tanah-tanah sawah. Dengan demikian, yang dperigunakan untuk penanaman paksa
lebih sedikit dari yang di rencanakan semula 1/5 seluruh sawah. Luas tanah yang
di ajukan oleh kepala desa biasanya lebih kecil dari pada yang sesungguhnya
sehinga angka-angka tersebut dalam kenyataanya lebih sedikit.
Penanaman kopi dilakukan di tanah
liar yang dibuka untuk keperluan tersebut. Di daerah periangan kebijakan
kumpeni tetap dilanjutkan tanpa perubahan, dan tetap diperuntukan bagi
kepentingan penguasa/pemerintah kolonial. Di Cirebon, beberapa daerah jawa
tengah dan jawa timur terdapat penanaman `bebas` inipun akhirnya dijadikan
swasta. Pada tahun 1833 penanaman `bebas` inipun akhirnya dijadikan tanaman
paksa dan hasilnya harus di serahkan kepada pemerintah kolonial. Di seluruh
jawa pada tahun tersebut kira-kira 116 juta pohon kopi, 2/3 di antaranya
terdapat di priangan.
Tiga jenis tanaman yang terpenting
dalam tanaman paksa adalah kopi, gula, dan nila. Penanaman kopi yang dilakukan
pada tanah-tanah yang belum dibuka tidak banyak berpegaruh dalam tata kehidupan
masyarakat apabila dibandingkan dengan penanaman gula dan nila. Dalam tahun
1858 tenaga yang dibutuhkan untuk penanaman-penanaman kopi,gula,dan nila secara
berturut-turut adalah: 450.000, 300.000, dan 110.000 orang.
Untuk perbandingan luasnya lahan dengan
penanaman tebu, di tunjukan dalam ukuran bau adalah sebagai berikut:
Wilayah
keresidenan
|
1833
|
1860
|
1910
|
Banten
Cirebon
Pekalongan
Tegal
Semarang
Jepara
Rembang
Banyumas
Madium
Kediri
Surabaya
Pasuruan
Probolinggo
Besuki
banyuwangi
|
2.254
1.460
777
560
543
5.118
1.221
-----
3.512
642
4.424
8.361
-----
3.850
-----
|
--
44.200
1.500
3.200
1.800
3.700
----
300
800
1.900
8.000
6.000
4.700
2.000
----
|
--
15.000
3.500
10.030
3.300
8.800
----
5.000
6.400
20.000
26.000
13.000
13.000
7.000
----
|
Jumlah
penanaman
|
32.722
|
38.100
|
141.300
|
Dengan perbandingan keadaan
tahun-tahun 1833 dan 1860 telah terjadi pergeseran dalam penanaman. Di banten
dan rembang penanaman itu di hentikan. Sedangkan di banyumas mulai diusahakan
penanaman, karena berdasarkan percobaan-percobaan tanahnya cocok untuk
penanaman tebu. Tahun-tahun pertama tanam paksa, melalui berbagai percobaan
diusahakan untuk melakukan pembagian penanaman secara rasional ke daerah-daerah
yang meguntungkan untuk penanaman. Perbandingan antara tahun 1860 dengan 1910
menunjukan perluasan yang signifikat, terutama di daerah-daerah cirebon,
banyumas, madiun, surabaya, dan besuki.
- Penanaman Tebu
Para petani jawa sudah diperkenalkan
jenis tanaman ini sejak abad XVII, ketika mereka menanam tanaman ini dan
menjualkan kepada pedagang-pedagang belanda dan cina. Sebelum tanam paksa,
mereka menanam tebu secara bergantian dengan tanaman pangan sebagai sarana
pokok subsistensi. Setelah pemerintah kolonial melakukan percobaan pertama,
pada tahun 1830 diputuskan bahwa penanaman tebu di lakukan di semua daerah yang
baik untuk itu, yaitu di karesidenan-karesidenan cirebon, pekalongan, tegal,
semarang, jepara, surabaya, dan pasuruan. Untuk tahun berikutnya dilakukan
perluasan penanaman di daerah-daerah yang di peroleh setelah usai perang
diponegoro, yaitu keresidenan-keresidenan madiun dan kediri.
Petani dengan mudah menerima dan
melaksanakan program penanaman. Terhadap desa-desa, pemerintah kolonial
melakukan persetujuan-persetujuan untuk menanam, memelihara, dan menyerahkan
tenaga kerja serta kayu bakar kepad pengusaha pabrik di daerah-daerah yang di
peroleh dari raja, maka penanaman itu dilakukan melalui perintah, karena di
daerah-daerah tersebut rakyat lebih terbiasa menerima perintah dari para ajudan
dan persetujuan.
Dalam tahun-tahun pertama pemerintah
melaksanakan berbagai variasi dalam melaksanakan kontrak dengan orang-orang
Eropa, cina, dan juga dengan kepala-kepala pribumi. Pada suatu ketika
pemerintah menerima penyerahan gula, dalam kesempatan lain menerima tebu, kali
lain lagi menerima penyerahan gula tebu. Karena informasi mengenai desa terlalu
terbatas, misalnya tentang jumlah penduduk, susunan desa, luas tanah,
hasil-hasil pertanian separti tebu, maka sering kali perlakuan terhadap desa
disama ratakan. Sering dilakukan penanaman secara besar-besaran di suatu daerah
tanpa mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan pontesi yang dimiliki daerah
lain.
Dengan pengusaha-pengusaha swasta di
adakan perjanjian untuk mendirikan pabrik-pabrik gula dan kemudian hasil
produksinya dijual kepada pemerintah. Untuk tahap permulaan, pemerintah
mengalami kesulitan mendapat rekan kerja dari Eropa. Orang-orang cina pada
waktu permulaan yang bisa menerima kontrak ini, yang sebagian besar bersedia
melakukan perjanjian sesudah diadakan tekanan-tekanan oleh para presiden.
Setelah dirasa banyak mendatangkan keuntungan dalam waktu yang relatif singkat
dengan mendirikan pabrik-pabrik gula, banyak pengusaha belanda yang terbaik
menanam modal nya di indonesia.
Periode 1830-an sampai 1840-an
merupakan tahap awal perkembangan penanaman tebu ketika sejumlah percobaan
dilakukan untuk menemukan daerah yang cocok untuk penanaman tebu. Dari
serangkaian percobaan bahwa tebu dapat
ditananam, di lahan-lahan padi yang sistem penanaman nya mengunakan sistem
rotasi.
Komisi Umbgrove melaporkan mengenai
istilah penanaman tebu `bebes` di tanah-tanah pengusaha swasta,bahwa penanman
disini tidak selalu dilakukan oleh penduduk atas kemauwan sendiri dengan
sungguh-sungguh. Penanaman di daerah pengusaha swasta ini ternyata tidak jauh
berbeda dengan penanaman wajib yang dilakukan pemerintah, sama-sama melakukan
paksaan. Bahkan menurut S`Jacob, tekanan terhadap rakyat pada penanaman swasta
lebih berat dari pada tanam paksa.
- Penanaman Kopi
Dari berbagai jenis tananaman ekspor
negara, kopi di angap yang paling stabil. Dengan mengasumsikan penanaman wajib
dibawah VOC sebagai penanaman negara, kopi telah telah di tanam hampir 200
tahun. Penanaman kopi telah
memberikan kepada pemerintah kolonial penghasilan yang besar, sebelum penenaman
oleh negara lainnya melebihi kopi sesudah tahun 1870-an. Beberapa kondisi
ekologis khusus membuat penanaman kopi menguntungkan dan berakibat penanaman
kopi meluas hampir keseluruh keresidenan
jawa. Pertama, kopi tidak ditanam pada lahan-lahan padi, yang bearti tidak
menggangu tanaman pangan utama. Penanaman di lahan-lahan kering seperti di tegalan,
tanah-tanah yang belum dibuka, dan lapangan-lapangan. Hal ini menyebabkan
tanaman tersebut bermanfaat, karena lahan kering (tegalan) biasanya
ditanami dengan tanaman pangan yang kurang penting (palawija). Kedua,
kopi merupakan tanaman ekspor yang sangat penting dengan harga yang tinggi di
pasar internasional, meskipun fluktuasi harga dalam waktu yang singkat dapat
berubah-ubah.
Selama periode permulaan tampaknya
sistem penanaman wajib atas kopi ini berjalan dengan baik. Namun, apabila
pemerintah kolonial akan memperluas perkebunan-perkebunan besar yang
menghasilkan tananaman-tananaman ekspor yang dapat bersaing di pasar
internasional, seluruh perusahaan harus dijalankan dengan teknik-teknik
manajemen modern. Hal yang demikian memerlukan kombinasi dua macam pegawai yang
mampu bekerja sama secara baik. Kategori pertama adalah pegawai peribumi yang
bertanggung jawab untuk pengawasan, artinya mereka harus mampu menegakan
kepatuhan orang-orang yang terlibat
dalam perkebunan-perkebunan negara. Kategori kedua adalah para pegawai
belanda yang mengontrol seluruh operasi tanam paksa.
Kombinasi administrasi ganda untuk
mendukung sistem tanam paksa merupakan kombinasi yang berat sebelah. Kekuasan
yang nyata pembuatan keputusan dalam suatu jenis permasalahan berada di tangan
para admistrator belanda. Admistrasi pribumi dikepalai oleh bupati, penguasa
tradisional pada masa prakolonial yang diperlakukan sebagai `saudara muda` yang
memerintah orang-orang jawa di bawah perintah keras `saudara-saudara tua` dan
pejabat belanda.
- Penanaman Indigo
Penanaman indigo memiliki
perkembangan yang berbeda dengan penanaman tebu. Penanaman indigo memberatkan
dan menimpa secara berat pada pundhak petani. Indigo menjadi tanaman dengan
skala yang sedang bagi petani sebelum mereka mengenal sistem tanam paksa. Bubuk
biru yang dihasilkan dari perebusan daun-daun indigo digunakan untuk mencelup
kain biru. Penanaman indigo disesuaikan dengan siklus pertanian petani secara
rotasi dengan penanaman padi. Karena indigo merupakan tanaman kedua sesudah
padi, maka penanamannya dilakukun sesudah penanaman utama. Penanaman indigo
menawarkan pendapatan tambahan bagi para petani.
Pada tahun 1840-an tanaman indigo
berjumlah 42,833 bau, melibatkan 207.118 keluarga petani. Menarik untuk dicatat
bahwa perkembangan penanaman indigo berjalanan berlawanan dengan penanaman tebu
pada bagian terakir fase kedua (1840-1860). Pada tahun 1860 perkebunan indigo
hanya meliputi 15.546 bau dan rumah tangga petani yang terlibat pada penanaman
berjumlah 103.214. dalam waktu yang sama areal penanaman paksa untuk tebu di
perluas menjadi 38.456 bau. Pada tahun 1864 penanaman indigo semuanya di hapus.
Kegagalan perkembangan penanaman
indigo negara dapat diduga karena terutama berkaitan dengan keuntungan yang di
berikan kepada petani yang rendah. Ditambah lagi, para petani sering membuat
hutang untuk membayar pajak tanah. Sebab kegagalan yang lain adalah bahwa
penanaman indigo lebih menanduskan tanah bila di banding dengan penanaman
tanaman-tanaman lain. Dengan demikian penanaman indigo merusak penanaman padi.
Akibat lebih jauh adalah munculnya keengganan baik petani maupun para
kepala-kepala pribumi terhadap budi daya tanaman ini sebab dengan sendiri nya
insentif juga akan dengan sendirinya menjadi kecil.pembayaran tenaga kerja dan cultuurprocenten
rendah. Hal yang demikian telah menyebabkan kepala-kepala pribumi mengabai kan
kewajiban nereka untuk melakukan inspeksi area penanaman atau mendorong petani
untuk bekerja lebih baik yang dalam beberapa kasus telah mendorong para petani
untuk melarikan diri dari desa-desa mereka.
- Kesengsaran Rakyat Akibat Dari Stelsel Tanam Paksa
Sistem tanam paksa merupakan contoh
klasik tentang penindasan kaum penjajah. Tujuan dari sistem ini adalah
peningkatan kapasitas produksi pertanian jawa demi keuntungan perbendaharaan
kerajan belanda. Dari sudut pandang ini, tanam paksa ini, tanam paksa telah
berhasil dengan baik. Hal ini terbukti dengan dihasilkannya sejumlah besar
komoditi ekspor yang penjualanya di eropa semangkin banyak menghasilkan dana untuk
menopang posisi keuangan belanda yang sangat sulit.
Akhirnya,
kesengsaran yang diderita oleh petani adalah bahwa sistem tanam paksa merupakan
sumber terjadinya korupsi oleh oknum-oknum yang diberi kewenangan mengelolanya.
Petunjuk-petunjuk pelaksanan dari atura tanam paksa yang tidak tegas, membuka
peluang untuk praktik-praktik penyimpangan dari pejabat belanda maupun
bumiputra, untuk kepentingan mereka sendiri. Banyak digunakan pengaruh dan
wewenang pejabat untuk melakukan intimidasi terhadap penduduk agar tanah mereka
di serahkan kepada pejabat yang bersangkutan. Sistem insentif melalui cultur-procenten
dan keinginan untuk naik pangkat seringkali mendorong para pejabat untuk
meningkatkan produksi ekspor dengan memaksakan pembebanan yang berlebihan terhadap
lahan dan kaum petani diwilayah jabatan masing-masing.
Segala pembebanan dan penyalahgunaan
kekuasan itu pada giliranya akan membawa akibat buruk bagi para petani
disekitar pertengahan dan akhir tahun 1840-an. Terjadinya serangkaian wabah
penyakit dan kegagalan panen telah mengakibatkan bencana kelaparan dan kematian
ribuan petani di wilayah jawa tengah bagian utara, merupakan dampak pelaksaan
tanam paksa. Kelaparan itu merupakan
kombinasi adanya beban pajak yang terlalu tinggi, penggunaan lahan-lahan
yang melebihi batas, dan kerja paksa. Para petani merasakan bahwa tidak mungkin
bagi mereka untuk menghasilkan hasil bumi yang secukup nya untuk memenuhi
kewajiban keuangan disamping untuk menjamin kebutuhan makan mereka sendiri.
Kaum liberal di negeri belanda memendang bahwa kesengsaran yang timbul
merupakan konsekuensi yang muthlak dari logika sistem tanam paksa. Kekacauan
timbul karena memacu amarah dari berbagai pihak, sehinga akhirnya tanam paksa
harus diakhiri.
- Keuntungan Yang Timbul Dari Tanam Paksa
Paparan mengenai kemiskinan dan
kesengsaran rakyat jawa yang timbul akibat sistem tanam paksa merupakan suatu
thesis yang sering kali dilontarkan diberbagai kesempatan oleh para pegecam
sistem ini. Namun demikian, secara objektif belum dapat dikatakan sistem ini
telah menyebabkan kemiskinan bagi para petsni jawa.
Sebagai contoh, Algameen Jaarlijksch
verslag omtrent staat van der residentie Cheribon gedurende her dienstjaar 1824
(laporan tahunan umum mengenai keadan di karesidenaan cirebon selama tahun
dinas 1824), dapat memberi informasi tentang cirebon mengenai ragam bentuk
penindasan terhadap para petani yang dilakukan oleh para ketua pribumi
pertanyaan mengenai kesengsaraan dan kemiskinan atau kemakmuran dan
kesejahteraan yang telah diberikan oleh stelsel tanam paksa agaknya memang
sulit untuk dipecahkan. Sejumlah bukti yang tersedia, berupa angka-angka
statistik masih sangat diragukan validitas nya. Informasi mengenai dampak
sosial dari sistem ini masih sangat terbatas. Kurang diketahui dasar dari perubahan
ekonomi sosial perdesan, misalnya mengenai cara pembagian pendapatan dan beben
yang harus dipikul oleh petani, besarnya upah yang sungguh-sungguh diterima
oleh petani dalam rangka tananam paksa, pengunaan dan waktu petani mengunakan
uang petani, sistem yang digunakan untuk menangani kesempatan baik dan
kemalangan, dan tingkat perubahan struktur sosial penduduk.
BAB III
PENUTUP
- Kesimpulan
Karena
pada saat itu bangsa Indonesia di jajah oleh bangsa Belanda, maka kolonial
Belanda mengadakan sistem stelsel tanam paksa untuk memenuhi kebutuhan para
tentara kolonial Belanda dan para panglima-panglimanya. Sistem stelsel tanam
paksa ini banyak sekali mengakibatkan kesengseraan, kemiskinan dan penderitaan
yang dirasakan oleh para petani dikarena kan petani yang harus menambah kuota
hari kerja dan imbalan kecil yang diterima sebagai upah.
- Saran
Semoga makalah kami bermanfaat bagi
pembaca, jika terdapat kekurangan pada makalah kami, kami harapkan kritik dan
saran guna memperbaiki untuk penulisan makalah kami.
DAFTAR PUSTAKA
Saiful Bachri, 2005. Sejarah Perekonomian, Cetakan 1. Lembaga
Pengembangan Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar