Selasa, 15 Desember 2015

SEJARAH SOSIAL EKONOMI " Stelsel Tanam Paksa "



BAB II
PEMBAHASAN

STELSEL TANAM PAKSA

  1. Perencanaan Tanam Paksa
Pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari stelsel tanah yang terdahulu memberikan pelajaran bahwa kekuasaan feodal yang masih sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat jawa masih harus dihormati. Orang eropa tidak akan memperoleh apapun jika mereka tidak menggunakan organisasi desa.Walaupun demikian, pengelolaan perusahaan harus diorgnisasikan oleh orang Eropa.
Guberner Jendral Johannes van den Bosch yang mulai memegang kekuasaan diindonesia sejak tahun 1830 menyadari betul keadaan yang ada di Jawa. Ia mencari titik permulaan dalam rangka kegiataan orang-orang Eropa didesa. Ia menggunakan desa jawa sebagai produsen tanaman ekspor dan sebenarnya hal ini merupakan inti dari tanam paksa (cultuur stelsel). Rakyat dipaksa untuk menanam tanaman-tanaman ekspor yang dikehendaki oleh pemerintah kolonial dipimpin oleh para kepala pribumi yang berada dibawah pengawasan pegawai- pegawai Eropa. Ia merasa takut untuk mengadakan pimpinan orang eropa langsung terhadap rakyat.
Sistem tanam paksa oleh Fasseur didefinisikan sebagai sebuah sistem industri agraris yag didalamnya pemerintah kolonial memanipulasi kekuasaan dan pengaruhnya untuk memaksa para petani menanam komoditas-komoditas ekspor. Sedangkan furnivall menjelaskan bahwa peran pemerintah dalam sistem tanam paksa itu adalah sebagai pedagang dan penguasa. Peran sebagai pedagang sebelumnya dimainkan oleh VOC, dan sebagi penguasa dimainkan oleh penguasa pribumi.
Hasil pertanian yang diusahakan oleh rakyat akan diolah sedemikian rupa sehingga memiliki kualitas ekspor yang baik dan mampu bersaing dipasaran eropa untuk mencukupi kebutuhan pabrik-pabrik swasta. Untuk mendirikan pabrik dan sebagainya, jika perlu, pemerintah akan memberikan porskot kepada para pengusaha swasta. Dengan cara seperti itu, diharapkan keberatan Du Bus  bahwa atas kemauannya sendiri rakyat hanya akan menghasilkan beras, dapat dihilangkan. Van Den Bosch menyadari bahwa perkembangan ekonomi dijawa tidak akn timbul spontan dari rakyat. Campur tangan orang Eropa baik dari pemerintah maupun swasta terhadap perkembangan ekonmi adalah merupakan suatu keharusan sampai pada batas-batas tertentu.
Kepada para penguasa swasta Eropa, Van Den Bosch memberikan tugas untuk meningkatkan produksi pabrik pengelohan, bukan dari pertaniannya sendiri. Ia akan mensuplai bahan-bahan mentah untuk pabrik-pabrik yang diusahakan swasta. Pengusaha-pengusaha eropa dan modal mereka berfungsi untuk pabrik-pabrik pengolahan, bukan untuk penanaman. Pemberian peranan kepada pengusaha eropa lebih kecil jika dibanding dengan apa yang direncanakan Du Bus. Hal ini karena kepercayaan Van Den Bosch bahwa impor modal secara besar-besaran tidak akan terjadi.
Rakyat melalui sistem paksaan (cultur stelsel) menanam tanaman-tanaman ekspor diatas tanahnya sendiri. Sebelum itu rakyat hanya dituntut untuk menyerahkan bahan-bahan yang dihasilkan atas kemauannya sendiri, sedangkan rodi dan pekerjaaan tanam paksa hanya berlaku untuk penanaman kopi. Kewajiban penanaman kopi sebelumnya juga hanya dilakukan diatas tanah-tanah liar. Campur tangan kolonial diperdesaan semakin mendalam.
Sebagai upah atas penanaman itu, rakyat tidak menerima uang, tetapi diberikan imbalan berupa pembebasan dari kewajiban membayar pajak yang sangat berat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pajak tidak dibayar dengan uang, tetapi dalam bentuk in natura atau tenaga kerja. Pemungutan pajak in natura, menurut Van Den Bosch lebih sesuai dengan sifat rumah tangga desa dibanding dengan pajak uang, rakyat harus tetap dibiarkan dalam keadaan rumah tangga produksi jangan dipaksa untuk menjalankan rumah tangga uang.
Alam stelsel Van Den Bosch unsur yang terdapat dalam produksi ekspor terdiri atas pemerintah Eropa, para kepala pribumi jawa, organisasasi desa, tenaga kerrja rakyat jawa, tanah pertanian rakyat, pengusaha-pengusaha Eropa denagan modalnya. Kepada masing-masing unsur tersebut secara teknis Van Den Bosch memberikan berbagai kemungkinan tidak melebihi dari apa yang dapat dilakukan. Walaupun tanam paksa tidak mengandung usaha-usaha pembaharuan, stelsel ini mengandung benih-benih untuk perkembangan diwaktu-waktu kemudian.
Dapat diduga bahwa dengan stelsel tanam paksa dapat memberikan tekanan yang berat kepada rakyat.namun menurut Mansvelt, karena Van den Bosch yang dinegeri belanda terkenal sebagai pembaharu masyarakat, ia akan memajukan rakyat dengan stelsel tersebut. Jika stelselnya tidak dilaksanakan dengan tidak berlebih-lebihan, agaknya memang dapat meningkatkan kemakmuran rakyat.
Prof. Garretson mengemukakan, ketika tahun 1830 tidak dapat diharapkan produksi ekspor dari jawa, pada saat itu pemerintah kolonial belanda dihadapkan pada dua pilihan, yaitu stelsel tanam paksa dan pemberian tanah tanah penduduk kepada pengusaha swasta Eropa. Pemerintah kolonial belanda harus memilih usaha peningkatan produksi ekspor diserahkan kepada pihak swasta atau dipegang pemerintah sendiri. Pemberian tanah-tanah partikelir kepada pengusaha swasta eropa secara besar-besaran akan berarti pemrintah mempertegas struktur feodal, sehingga sistem kemasyarakatan semakin bercorak feodalistis. Pengalaman-pengalaman diindia, koloni spanyol diamerika latin, dan juga philipina, menunjukan betapa sukarnya pembelian kembali tanah-tanah partikelir oleh pemerintah. Kebijakan untuk tidak menyerahkan tanah kepada para penguasa swasta, terbukti pada waktu kemudian bahwa ketika masyarakat sudah seemakin dewasa tidak terlalu sulit untuk melepaskan diri dari kekangan feodal. Berkat pelaksanaan stelsel tanam paksa, Jawa tidak mengenal masalah tan tanah besar. Masih menurut Garretson, bahan tanam paksa adalah stelsel yang paling tepat untuk dilaksanakan pada waktu itu, karena dapat dilaksanakan dalam batas-batas kemungkinan (sangat fisibel).
Stelsel tanam paksa akan memaksa penduduk untuk bekerja dan melepaskan tanah pertaniannya. Disamping itu, organisasi desa akan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya dan para kepala pribumi akan memperoleh kebebasan dalam usaha memperbesar produksi ekspor. Dengan demikian, sebenarnya tanam paksa telah mengerbankan kepastian hukum dan kebebasan orang serta barang. “Jiwa Kerja” yang ingin ditanamkan kepada penduduk desa melalui stelsel tanah ternyata hanya pada tingkat desa, tidak sampai ke individu.dalam masa pemerintahan Van der Cappelen, stelsel ini tidak dapat berjalan dengan baik, karena ia tidak memberikan sarana-sarana untuk menjalankan pemerintahannya sehingga politiknya tidak memiliki dasar ekonomi.
Melaksanakan stelsel tanam paksa Van den Bosch harus melepaskan tujuan untuk memberikan kepastian hukum dan kebebasan kepada penduduk.tugas-tugas peradaban harus dibatasidalam hal ini, Van den Bosch harus melepaskan “perfectionisme”. Segala bentuk ‘keinginan’ akan dikalahkan oleh ‘kebutuhan’ bahkan ‘kebutuhan’ tersebut harus cermat mempertimbangkan urgensinya.
 Kepastian hukum dan memberikan kebebasan bagi pegawai pegawai eropa merupakan sesuatu yang sukar dan berat, terutama para pegawai yang bekerja sejak pemerintahan Raffles, komisaris-komisaris Jendral, dan Van Der Cappelen. Politik tanam paksa merupakan penghancran dari usaha usaha yang telah dirintisnya sejak bertahun-tahun. Van den Bosch nampaknya sudah memperhitungkan tantangan-tantangan mereka. Ia mencari dukungan kepad raja Williem dengan mengatakan bahwa ‘paksaan’ yang dilaksanakn dengan cara yang ‘lebih halus’. Ia tidak ingin menggunakan istilah ‘paksaan’ tetapi ia lebih senang menggunakan istilah ‘persetujuan sukarela’ dengan desa-desa untuk penanaman tanaman-tanaman ekspor.
Keberatan terhadap rencana stelsel tanam paksa dari pegawai pegawai eropa yang lain adalah bahwa dengan sistem itu para residen merasa dianggap sebagai petani, karena mereka harus mengawasi penanaman. Ada juga pegawai pemerintah yang mengatakan bahwa sistem ini terlalu berbau bajak (ploeg). Keberatan-keberatan terhadap rencana stelsel tanam paksa ini oleh Van den Bosch akan dikompensasi dengan pemberian persenan atau premi penanaman kepada para pegawai eropa maupun Indonesia. Walaupun demikian, tantangan itu masih demikian kuatnya.untuk mengatasi hal tersebut, pada bulan januari 1832 Van Den Bosch diberikan hak-hak istimewa oleh raja Williem dan diangkat menjadi komisaris Jendral. Pada waktu kemudian para pegawai yang dibesarkan dalam masa stelsel tanam paksa sangat meyakini manfaat yang diberikan sistem ini terhadap kemakmuran penduduk. Bahkan mereka tidak menyetujui pencabutan stelsen tersebut untuk diubah menjadi penanaman oleh perusahaaan-perusahaan swasta. Mereka ini takut bahwa rakyat yang tidak berpengalaman alam masalah ekonomi akan diperas oleh para pengusaha swasta.
  1. Alat-Alat Organisasi Penanaman Wajib
Sebagai alat organisasi, sistem tanam paksa tidak hanya menggunakan ikatan  desa, tetapi juga menggunakan pengabdian feodal.percobaan liberal yang gagal dengan stelsel tanahnya telah menyebabkan penyediaan komoditas ekspor dikembalikan kepada warga.walaupun demikian, menurut Prof.Burger tidak benar jika dikatakan bahwa sistem tanam paksa telah mengembalikan pengabdian feodal seperti waktu-waktu sebelumnya.
Campur tangan negara dalam penanaman wajib memerlukan banyak organisasi manajemen didaerah pedalaman.pegawai-pegawai eropa mendapat tugas yang penting karena pekerjan-pekerjaan mereka tidak dapat diserahkan kepada para kepala pribumi atau bupati.pengaruh eropa sangat besar menembus ke daerah pedalaman. Walaupun demikian, pengaruh para bupati tetap dimanfaatkan oleh pemerintah.Van den Bosch ingin memperbesar kekuasaan para  bupati, tetapi sampai batas-batas tertentu.kebutuhan hidup bupati dan keluarganya yang sangat besar jangan sampai menekan rakyat.apanaga-apanage diberikan dan hak mewarisinya sampai batas-batas tertentu.
Para bupati dalam periode tanam paksa kembali memiliki kesempatan untuk menindas rakyat melalui kekuasaannya. Gaji mereka yang tidak cukup untuk memenuhi gayan hidupnya memaksa mereka untuk menambah penghasilan melalui cara-cara yang tidak jujur. Vitalitas menganggap para bupati ini sebagai “momok penindasan” (de hydra derverdrukking). Walaupun demikian sistem tanam paksa itu tidak memberikan kembali kebebasan untuk memerintah dari para bupati. Pelaksanaan tanam paksa yang pada dasarnya dilaksanakan oleh para asisten residen dan kontrolir-kontrolir semakin mempengaruhi kehidupsn desa, dan dengan sendirinya merugikan kekuasaan para bupati.
Melalui berbagai cara, beberapa bupati melakukan perlawanan secara diam diam terhadap para pegawai pemerintah. Vitalis menunjukan bahwa para bupati di Cirebon, Tegal, dan Pekalongan menghangsut rakyat untuk menimbulkan rasa tidak puas terhadap pegawai pemerintah.para bupati mengorganisasikan para perampok.dengan cara seperti itu, penduduk tidak berani meninggalkan keluarganya karena takut dirampok. Dengan demikian, pemerintah akan sulit memperoleh tenaga kerja diperkebunan-perkebunan.
Paksaan penanaman yang diawasi oleh negara pada dasarnya merupakan ekonomi politik monopolistik yang bertujuan mendapatkan keuntungan maksimun bagi negara induk dari potensi ekonomi yang dimiliki jawa. Melalui penanaman negara, pemerintah kolonial belanda secara angsung mengontrol produksi maupun sistem pemasaran tanaman komersial. Pemerintah memegang sendiri kekuasaan ekonomi yang dominan.hal ini merupakan salah satu kondisi yang unik yang telah muncul sejak awal sistem tanam paksa. 
Stelsel tanaman paksa disebut unik karena sistem ini tidak dipratikan oleh berbagai negara kolonial lain di wilayah Asia Tengara meskipun kondisi alam dan ekonomi serta struktur sosialnya mirip dengan yang ada di Jawa. Keunikan ini   memang telah memiliki akar yang cukup kuat sejak permulan kolonialisme belanda di indonesia.
Untuk mengamankan persedian komoditas ekspor pada masa VOC, memang perdagangannya diperluas ke arah monopoli sistem produksi. Kebijakan perekonomian yang demikian tetap dipertahankan oleh pemerintah kolonial setelah percobaan semi-liberal antara tahun 1800-1830 mengalami kegagalan. Prototip sistem tanam paksa dijawa adalah penanaman untuk tanaman kopo di priangan yang sudah berlangsung sejak abad XVIII.
Pengawasan orang-orang Eropa di daerah pedalaman yang telah di mulai sejak masa-masa akhir kekuasaan kumpeni dan bertambah kuat pada masa Deandels, telah semakin diperluas pada masa tanam paksa. Kedudukan oleh Prof. B. Schrieke tidak lebih dari “mandor-mandor penanaman”. Pengaruh Eropa pada masa tanam paksa kadang-kadang sampai kepada individu di desa, misalnya untuk penanaman wajib tanaman tebu pada tahun 1852 pembayaran upah di lakukan oleh pegawai Eropa langsung kepada masing-masing penanam. Namun, untuk penetapan pajak per-desa, penggunan tanah, pengarahan tenaga kerja untuk penanaman, dan tidak harus membersihkan kesempatan kepada kepala desa. Kesewenangan dan kekejaman para kepala pribumi adalah suatu yang melekat dengan stelsel tanam paksa.
Walaupun sebenarnya tanam paksa tidak di tujukan untuk modernisasi negara kolonial, tetapi jumlah orang-orang Eropa yang bekerja untuk kepentingan berkebun dalam fungsinya sebagai pimpinan dan untuk kepentingan perkebunana dalam fungsinya sebagai pimpinan dan pengatur organisaai semangkin bertambah jumlahnya. Komunikasi antara orang-orang indonesia dengan orang-orang Eropa agaknya melapangkan jalan bagi modernisasi di waktu-waktu kemudian.
Alat organisasi tanam paksa yang berupa ikatan desa merupakan instrumen yang tidak dapat di hindari. Dalam peraturan mengenai penanaman dan rodi banyak di tuntut dari kepala-kepala tradisional desa. Pemerintahan kolonial belanda mengukur keberhasilan para kepala desa ini berdasarkan berhasil tidaknya penanaman di dalam desa-desa mereka. Stelsel tanam paksa telah menyebabkan para kepala desa lebih tergantung dan terikat kepada pemerintahan atasanya, sedangkan kekuasan dalam desa nya bertambah besar. Kepala desa hanya sebagai mandor (zetbas) dari pemerintahan, sedang perhambaanya pun semangkin berat pula. Hal yang demikian bukan merupakan suatu yang baru karena sesuai dengan kecenderungan-kecenderungan dari pemerintah raja-raja dan bupati-bupati yang dahulu. Itulah, sebabnya maka penerapan sistem tanam paksa tidak seberapa mendapat tantangan dari para penguasa pribumi.
Tindakan kekerasan dalam melaksanakan tanam paksa rupa-rupanya hampir tidak di perlukan. Menurut S. Van Deventer yang berusaha menyelidiki tindakan kekerasan yang di lakukan dalam sistem tanam paksa, disimpulkan sedikit sekali tindakan kekerasan. Beberapa hukuman saja diberikan kepada kepala desa yang selain mengunakan cara-cara yang lunak, seperti teguran, kewajiban lapor di paseban dengan atau tampa keris, pemecatan juga dengan kekerasan, misalnya: kurungan dan dera. Tindakan untuk menghukum ini dilakukan agar para kepala desa melakukan tatanan seperti yang diharapakn pemerintah, yaitu tidak menimbulkan kesensaraan. Pelaksaan hukuman badan kepada para kepala desa yang bersalah akhirnya dilarang pada tahun 1841. Dengan demikian demikian dapat dikatakan bahwa paksaan itu di perlukan terutama pada desa warsa pertama penerapan paksaan tanaman produksi ekspor.
  1. Perkembangan Dan Kemunduran Sistem Tanam Paksa
Setelah tiga tahun berlangsung sistem tanam paksa, pada tahun 1833 dapat diketahuai luasnya lahan yang ditanami tanaman ekspor sebagai berikut:  
Tebu                            32.722 bau                  nila(indigo)      22.141 bau
Teh                              324 bau                       tembakau         30 nau
Kayu manis                 30 bau                         kapas               5 bau
            Disamping itu, masih terdapat berbagai tanaman yang tidak begitu penting untuk pasar Eropa, seperti lada dan murbei. Dalam tahun 1836 kira-kira 53 000 bua sawah rakyat yang digunakan untuk penanaman wajib, dan 39.000 di antaranya untuk penanaman tebu.
            Luas sawah rakyat pada tahun 1833 di perkirakan 964.000 bau. Dengan demikian kira-kira 1/18 dari luas seluruhnya yang digunakan untuk penanaman paksa. Dalam tahun 1836 bagian ini akan lebih kecil lagi.
            Khusus mengenai penanaman tebu, didaerah-daerah penggilingan gula tanah rakyat seluruhnya seluas 484.000 bau tanah rakyat, kira-kira setengah terdiri dari sawah. Dari jumlah tersebut, lebih dari 40.500 bau di tanami tebu atau1/12 dari seluruh tanah atau 1/6 dari tanah-tanah sawah. Dengan demikian, yang dperigunakan untuk penanaman paksa lebih sedikit dari yang di rencanakan semula 1/5 seluruh sawah. Luas tanah yang di ajukan oleh kepala desa biasanya lebih kecil dari pada yang sesungguhnya sehinga angka-angka tersebut dalam kenyataanya lebih sedikit.
            Penanaman kopi dilakukan di tanah liar yang dibuka untuk keperluan tersebut. Di daerah periangan kebijakan kumpeni tetap dilanjutkan tanpa perubahan, dan tetap diperuntukan bagi kepentingan penguasa/pemerintah kolonial. Di Cirebon, beberapa daerah jawa tengah dan jawa timur terdapat penanaman `bebas` inipun akhirnya dijadikan swasta. Pada tahun 1833 penanaman `bebas` inipun akhirnya dijadikan tanaman paksa dan hasilnya harus di serahkan kepada pemerintah kolonial. Di seluruh jawa pada tahun tersebut kira-kira 116 juta pohon kopi, 2/3 di antaranya terdapat di priangan.
            Tiga jenis tanaman yang terpenting dalam tanaman paksa adalah kopi, gula, dan nila. Penanaman kopi yang dilakukan pada tanah-tanah yang belum dibuka tidak banyak berpegaruh dalam tata kehidupan masyarakat apabila dibandingkan dengan penanaman gula dan nila. Dalam tahun 1858 tenaga yang dibutuhkan untuk penanaman-penanaman kopi,gula,dan nila secara berturut-turut adalah: 450.000, 300.000, dan 110.000 orang.
            Untuk perbandingan luasnya lahan dengan penanaman tebu, di tunjukan dalam ukuran bau adalah sebagai berikut:
Wilayah keresidenan
         1833
        1860
      1910
Banten
Cirebon
Pekalongan
Tegal
Semarang
Jepara
Rembang
Banyumas
Madium
Kediri
Surabaya
Pasuruan
Probolinggo
Besuki
banyuwangi
        2.254
        1.460
           777
           560
           543
        5.118
        1.221
         -----
        3.512
           642
        4.424
        8.361
         -----
        3.850
          -----
           --
       44.200
         1.500
         3.200
         1.800
         3.700
           ----
          300
          800
        1.900
        8.000
        6.000
        4.700
        2.000
           ----
         --
     15.000
       3.500
     10.030
       3.300
       8.800
         ----
       5.000
       6.400
     20.000
     26.000
     13.000
     13.000
       7.000
          ----
Jumlah penanaman
       32.722
       38.100
    141.300

            Dengan perbandingan keadaan tahun-tahun 1833 dan 1860 telah terjadi pergeseran dalam penanaman. Di banten dan rembang penanaman itu di hentikan. Sedangkan di banyumas mulai diusahakan penanaman, karena berdasarkan percobaan-percobaan tanahnya cocok untuk penanaman tebu. Tahun-tahun pertama tanam paksa, melalui berbagai percobaan diusahakan untuk melakukan pembagian penanaman secara rasional ke daerah-daerah yang meguntungkan untuk penanaman. Perbandingan antara tahun 1860 dengan 1910 menunjukan perluasan yang signifikat, terutama di daerah-daerah cirebon, banyumas, madiun, surabaya, dan besuki.
  1. Penanaman Tebu
            Para petani jawa sudah diperkenalkan jenis tanaman ini sejak abad XVII, ketika mereka menanam tanaman ini dan menjualkan kepada pedagang-pedagang belanda dan cina. Sebelum tanam paksa, mereka menanam tebu secara bergantian dengan tanaman pangan sebagai sarana pokok subsistensi. Setelah pemerintah kolonial melakukan percobaan pertama, pada tahun 1830 diputuskan bahwa penanaman tebu di lakukan di semua daerah yang baik untuk itu, yaitu di karesidenan-karesidenan cirebon, pekalongan, tegal, semarang, jepara, surabaya, dan pasuruan. Untuk tahun berikutnya dilakukan perluasan penanaman di daerah-daerah yang di peroleh setelah usai perang diponegoro, yaitu keresidenan-keresidenan madiun dan kediri.
            Petani dengan mudah menerima dan melaksanakan program penanaman. Terhadap desa-desa, pemerintah kolonial melakukan persetujuan-persetujuan untuk menanam, memelihara, dan menyerahkan tenaga kerja serta kayu bakar kepad pengusaha pabrik di daerah-daerah yang di peroleh dari raja, maka penanaman itu dilakukan melalui perintah, karena di daerah-daerah tersebut rakyat lebih terbiasa menerima perintah dari para ajudan dan persetujuan.
            Dalam tahun-tahun pertama pemerintah melaksanakan berbagai variasi dalam melaksanakan kontrak dengan orang-orang Eropa, cina, dan juga dengan kepala-kepala pribumi. Pada suatu ketika pemerintah menerima penyerahan gula, dalam kesempatan lain menerima tebu, kali lain lagi menerima penyerahan gula tebu. Karena informasi mengenai desa terlalu terbatas, misalnya tentang jumlah penduduk, susunan desa, luas tanah, hasil-hasil pertanian separti tebu, maka sering kali perlakuan terhadap desa disama ratakan. Sering dilakukan penanaman secara besar-besaran di suatu daerah tanpa mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan pontesi yang dimiliki daerah lain.
            Dengan pengusaha-pengusaha swasta di adakan perjanjian untuk mendirikan pabrik-pabrik gula dan kemudian hasil produksinya dijual kepada pemerintah. Untuk tahap permulaan, pemerintah mengalami kesulitan mendapat rekan kerja dari Eropa. Orang-orang cina pada waktu permulaan yang bisa menerima kontrak ini, yang sebagian besar bersedia melakukan perjanjian sesudah diadakan tekanan-tekanan oleh para presiden. Setelah dirasa banyak mendatangkan keuntungan dalam waktu yang relatif singkat dengan mendirikan pabrik-pabrik gula, banyak pengusaha belanda yang terbaik menanam modal nya di indonesia.
            Periode 1830-an sampai 1840-an merupakan tahap awal perkembangan penanaman tebu ketika sejumlah percobaan dilakukan untuk menemukan daerah yang cocok untuk penanaman tebu. Dari serangkaian percobaan  bahwa tebu dapat ditananam, di lahan-lahan padi yang sistem penanaman nya mengunakan sistem rotasi.
            Komisi Umbgrove melaporkan mengenai istilah penanaman tebu `bebes` di tanah-tanah pengusaha swasta,bahwa penanman disini tidak selalu dilakukan oleh penduduk atas kemauwan sendiri dengan sungguh-sungguh. Penanaman di daerah pengusaha swasta ini ternyata tidak jauh berbeda dengan penanaman wajib yang dilakukan pemerintah, sama-sama melakukan paksaan. Bahkan menurut S`Jacob, tekanan terhadap rakyat pada penanaman swasta lebih berat dari pada tanam paksa.
  1. Penanaman Kopi
            Dari berbagai jenis tananaman ekspor negara, kopi di angap yang paling stabil. Dengan mengasumsikan penanaman wajib dibawah VOC sebagai penanaman negara, kopi telah telah di tanam hampir 200 tahun.             Penanaman kopi telah memberikan kepada pemerintah kolonial penghasilan yang besar, sebelum penenaman oleh negara lainnya melebihi kopi sesudah tahun 1870-an. Beberapa kondisi ekologis khusus membuat penanaman kopi menguntungkan dan berakibat penanaman kopi meluas hampir keseluruh  keresidenan jawa. Pertama, kopi tidak ditanam pada lahan-lahan padi, yang bearti tidak menggangu tanaman pangan utama. Penanaman di lahan-lahan kering seperti di tegalan, tanah-tanah yang belum dibuka, dan lapangan-lapangan. Hal ini menyebabkan tanaman tersebut bermanfaat, karena lahan kering (tegalan) biasanya ditanami dengan tanaman pangan yang kurang penting (palawija). Kedua, kopi merupakan tanaman ekspor yang sangat penting dengan harga yang tinggi di pasar internasional, meskipun fluktuasi harga dalam waktu yang singkat dapat berubah-ubah.
            Selama periode permulaan tampaknya sistem penanaman wajib atas kopi ini berjalan dengan baik. Namun, apabila pemerintah kolonial akan memperluas perkebunan-perkebunan besar yang menghasilkan tananaman-tananaman ekspor yang dapat bersaing di pasar internasional, seluruh perusahaan harus dijalankan dengan teknik-teknik manajemen modern. Hal yang demikian memerlukan kombinasi dua macam pegawai yang mampu bekerja sama secara baik. Kategori pertama adalah pegawai peribumi yang bertanggung jawab untuk pengawasan, artinya mereka harus mampu menegakan kepatuhan orang-orang yang terlibat  dalam perkebunan-perkebunan negara. Kategori kedua adalah para pegawai belanda yang mengontrol seluruh operasi tanam paksa.
            Kombinasi administrasi ganda untuk mendukung sistem tanam paksa merupakan kombinasi yang berat sebelah. Kekuasan yang nyata pembuatan keputusan dalam suatu jenis permasalahan berada di tangan para admistrator belanda. Admistrasi pribumi dikepalai oleh bupati, penguasa tradisional pada masa prakolonial yang diperlakukan sebagai `saudara muda` yang memerintah orang-orang jawa di bawah perintah keras `saudara-saudara tua` dan pejabat belanda.


  1. Penanaman Indigo
            Penanaman indigo memiliki perkembangan yang berbeda dengan penanaman tebu. Penanaman indigo memberatkan dan menimpa secara berat pada pundhak petani. Indigo menjadi tanaman dengan skala yang sedang bagi petani sebelum mereka mengenal sistem tanam paksa. Bubuk biru yang dihasilkan dari perebusan daun-daun indigo digunakan untuk mencelup kain biru. Penanaman indigo disesuaikan dengan siklus pertanian petani secara rotasi dengan penanaman padi. Karena indigo merupakan tanaman kedua sesudah padi, maka penanamannya dilakukun sesudah penanaman utama. Penanaman indigo menawarkan pendapatan tambahan bagi para petani.
            Pada tahun 1840-an tanaman indigo berjumlah 42,833 bau, melibatkan 207.118 keluarga petani. Menarik untuk dicatat bahwa perkembangan penanaman indigo berjalanan berlawanan dengan penanaman tebu pada bagian terakir fase kedua (1840-1860). Pada tahun 1860 perkebunan indigo hanya meliputi 15.546 bau dan rumah tangga petani yang terlibat pada penanaman berjumlah 103.214. dalam waktu yang sama areal penanaman paksa untuk tebu di perluas menjadi 38.456 bau. Pada tahun 1864 penanaman indigo semuanya di hapus.
            Kegagalan perkembangan penanaman indigo negara dapat diduga karena terutama berkaitan dengan keuntungan yang di berikan kepada petani yang rendah. Ditambah lagi, para petani sering membuat hutang untuk membayar pajak tanah. Sebab kegagalan yang lain adalah bahwa penanaman indigo lebih menanduskan tanah bila di banding dengan penanaman tanaman-tanaman lain. Dengan demikian penanaman indigo merusak penanaman padi. Akibat lebih jauh adalah munculnya keengganan baik petani maupun para kepala-kepala pribumi terhadap budi daya tanaman ini sebab dengan sendiri nya insentif juga akan dengan sendirinya menjadi kecil.pembayaran tenaga kerja dan cultuurprocenten rendah. Hal yang demikian telah menyebabkan kepala-kepala pribumi mengabai kan kewajiban nereka untuk melakukan inspeksi area penanaman atau mendorong petani untuk bekerja lebih baik yang dalam beberapa kasus telah mendorong para petani untuk melarikan diri dari desa-desa mereka.
  1. Kesengsaran Rakyat Akibat Dari Stelsel Tanam Paksa
            Sistem tanam paksa merupakan contoh klasik tentang penindasan kaum penjajah. Tujuan dari sistem ini adalah peningkatan kapasitas produksi pertanian jawa demi keuntungan perbendaharaan kerajan belanda. Dari sudut pandang ini, tanam paksa ini, tanam paksa telah berhasil dengan baik. Hal ini terbukti dengan dihasilkannya sejumlah besar komoditi ekspor yang penjualanya di eropa semangkin banyak menghasilkan dana untuk menopang posisi keuangan belanda yang sangat sulit.
Akhirnya, kesengsaran yang diderita oleh petani adalah bahwa sistem tanam paksa merupakan sumber terjadinya korupsi oleh oknum-oknum yang diberi kewenangan mengelolanya. Petunjuk-petunjuk pelaksanan dari atura tanam paksa yang tidak tegas, membuka peluang untuk praktik-praktik penyimpangan dari pejabat belanda maupun bumiputra, untuk kepentingan mereka sendiri. Banyak digunakan pengaruh dan wewenang pejabat untuk melakukan intimidasi terhadap penduduk agar tanah mereka di serahkan kepada pejabat yang bersangkutan. Sistem insentif melalui cultur-procenten dan keinginan untuk naik pangkat seringkali mendorong para pejabat untuk meningkatkan produksi ekspor dengan memaksakan pembebanan yang berlebihan terhadap lahan dan kaum petani diwilayah jabatan masing-masing.
            Segala pembebanan dan penyalahgunaan kekuasan itu pada giliranya akan membawa akibat buruk bagi para petani disekitar pertengahan dan akhir tahun 1840-an. Terjadinya serangkaian wabah penyakit dan kegagalan panen telah mengakibatkan bencana kelaparan dan kematian ribuan petani di wilayah jawa tengah bagian utara, merupakan dampak pelaksaan tanam paksa. Kelaparan itu merupakan  kombinasi adanya beban pajak yang terlalu tinggi, penggunaan lahan-lahan yang melebihi batas, dan kerja paksa. Para petani merasakan bahwa tidak mungkin bagi mereka untuk menghasilkan hasil bumi yang secukup nya untuk memenuhi kewajiban keuangan disamping untuk menjamin kebutuhan makan mereka sendiri. Kaum liberal di negeri belanda memendang bahwa kesengsaran yang timbul merupakan konsekuensi yang muthlak dari logika sistem tanam paksa. Kekacauan timbul karena memacu amarah dari berbagai pihak, sehinga akhirnya tanam paksa harus diakhiri.
  1. Keuntungan Yang Timbul Dari Tanam Paksa
            Paparan mengenai kemiskinan dan kesengsaran rakyat jawa yang timbul akibat sistem tanam paksa merupakan suatu thesis yang sering kali dilontarkan diberbagai kesempatan oleh para pegecam sistem ini. Namun demikian, secara objektif belum dapat dikatakan sistem ini telah menyebabkan kemiskinan bagi para petsni jawa.
             Sebagai contoh, Algameen Jaarlijksch verslag omtrent staat van der residentie Cheribon gedurende her dienstjaar 1824 (laporan tahunan umum mengenai keadan di karesidenaan cirebon selama tahun dinas 1824), dapat memberi informasi tentang cirebon mengenai ragam bentuk penindasan terhadap para petani yang dilakukan oleh para ketua pribumi pertanyaan mengenai kesengsaraan dan kemiskinan atau kemakmuran dan kesejahteraan yang telah diberikan oleh stelsel tanam paksa agaknya memang sulit untuk dipecahkan. Sejumlah bukti yang tersedia, berupa angka-angka statistik masih sangat diragukan validitas nya. Informasi mengenai dampak sosial dari sistem ini masih sangat terbatas. Kurang diketahui dasar dari perubahan ekonomi sosial perdesan, misalnya mengenai cara pembagian pendapatan dan beben yang harus dipikul oleh petani, besarnya upah yang sungguh-sungguh diterima oleh petani dalam rangka tananam paksa, pengunaan dan waktu petani mengunakan uang petani, sistem yang digunakan untuk menangani kesempatan baik dan kemalangan, dan tingkat perubahan struktur sosial penduduk.


BAB III
PENUTUP

  1. Kesimpulan
Karena pada saat itu bangsa Indonesia di jajah oleh bangsa Belanda, maka kolonial Belanda mengadakan sistem stelsel tanam paksa untuk memenuhi kebutuhan para tentara kolonial Belanda dan para panglima-panglimanya. Sistem stelsel tanam paksa ini banyak sekali mengakibatkan kesengseraan, kemiskinan dan penderitaan yang dirasakan oleh para petani dikarena kan petani yang harus menambah kuota hari kerja dan imbalan kecil yang diterima sebagai upah.
  1. Saran
Semoga makalah kami bermanfaat bagi pembaca, jika terdapat kekurangan pada makalah kami, kami harapkan kritik dan saran guna memperbaiki untuk penulisan makalah kami.











DAFTAR PUSTAKA
Saiful Bachri, 2005. Sejarah Perekonomian, Cetakan 1. Lembaga Pengembangan Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar